Hamba Tuhan berbeda dengan guru pengajar yang tinggal mengajar berdasarkan kurikulum. Hamba Tuhan menyampaikan BERITA Allah, KEHENDAK Allah, dan PENGETAHUAN Allah.
Dan semua itu, selain membutuhkan persiapan yang saksama dan bertanggung jawab, juga komunikasi intensif dengan Dia.
Hal ini tidak saja membutuhkan waktu banyak, tapi juga konsentrasi dan ketaatan yang meminta pengorbanan! Kalau guru pengajar sudah memiliki pedoman buku pelajaran yang ditetapkan oleh atasan, tidaklah demikian dengan hamba Tuhan yang perlu menggali sampai dalam, melalui pengalaman-pengalaman hamba Tuhan lainnya, para penulis buku- buku yang tetap memegang kebenaran "yang dari semula", juga pengalaman hidup kita sendiri dengan Tuhan, karena bukankah kita seharusnya menyampaikan apa yang telah "kita dengar dan alami sendiri dari Tuhan"?
Melalui pengalaman ini, yang kita peroleh kalau kita bersedia untuk menerima pahit getir hidup, dengan menelan garam untuk diperbudak dan diperalatnya kita oleh tuan-tuan gereja, barulah kita "berguna" bagi anak-anak Tuhan. Dan meminjam istilah Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan perlu mengalami pengalaman "ditindas, habis akal, dianiaya, ditinggalkan sendirian, dihempaskan".
Ya, kita perlu senantiasa mengalami "kematian Yesus dalam tubuh kita" (2 Kor. 4). Dunia sudah muak dengan filsafat, politik, dan "ajaran yang tinggi". Manusia/domba-domba Allah/anak-anak Tuhan membutuhkan makanan yang dapat dimakan, yang bergizi, menyehatkan, enak, dan praktis untuk diterapkan.
(Pdt, D.S. Hananiel, dalam “Pelita Zaman (edisi no. 2 tahun 1987, sabda.org)
Dan semua itu, selain membutuhkan persiapan yang saksama dan bertanggung jawab, juga komunikasi intensif dengan Dia.
Hal ini tidak saja membutuhkan waktu banyak, tapi juga konsentrasi dan ketaatan yang meminta pengorbanan! Kalau guru pengajar sudah memiliki pedoman buku pelajaran yang ditetapkan oleh atasan, tidaklah demikian dengan hamba Tuhan yang perlu menggali sampai dalam, melalui pengalaman-pengalaman hamba Tuhan lainnya, para penulis buku- buku yang tetap memegang kebenaran "yang dari semula", juga pengalaman hidup kita sendiri dengan Tuhan, karena bukankah kita seharusnya menyampaikan apa yang telah "kita dengar dan alami sendiri dari Tuhan"?
Melalui pengalaman ini, yang kita peroleh kalau kita bersedia untuk menerima pahit getir hidup, dengan menelan garam untuk diperbudak dan diperalatnya kita oleh tuan-tuan gereja, barulah kita "berguna" bagi anak-anak Tuhan. Dan meminjam istilah Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan perlu mengalami pengalaman "ditindas, habis akal, dianiaya, ditinggalkan sendirian, dihempaskan".
Ya, kita perlu senantiasa mengalami "kematian Yesus dalam tubuh kita" (2 Kor. 4). Dunia sudah muak dengan filsafat, politik, dan "ajaran yang tinggi". Manusia/domba-domba Allah/anak-anak Tuhan membutuhkan makanan yang dapat dimakan, yang bergizi, menyehatkan, enak, dan praktis untuk diterapkan.
(Pdt, D.S. Hananiel, dalam “Pelita Zaman (edisi no. 2 tahun 1987, sabda.org)
Comments
Post a Comment