Sekarang pikirkanlah: Mengapa sebagai manusia kita terus-menerus mengejar sesuatu?
Mengapa kita merasa harus menaklukkan gunung-gunung yang belum terdaki dan berseluncur di lereng-lereng yang sangat terjal?
Mengapa kita mengarungi jeram yang paling sulit dan berbahaya, serta menantang kekuatan alam?
Sebagian karena hasrat kita untuk berpetualang dan mencari kesenangan, tetapi ada yang lebih dari itu. Yang saya maksud adalah naluri terhadap Allah yang telah tertanam dalam diri kita. Tidak bisa tidak, kita ingin menemukan Allah.
Di balik semua hasrat kita, ada kerinduan yang mendalam akan Allah.
Tentu saja kita tidak menyadari hal itu. Yang kita tahu hanyalah bahwa kita merindukan sesuatu. “Anda tidak tahu apa yang sebenarnya Anda inginkan,” kata Mark Twain, “tetapi Anda begitu menginginkannya sampai setengah mati rasanya.”
Allah adalah kediaman hati kita yang sejati. Agustinus, sang bapa gereja, pernah menyatakan dalam kutipannya yang sangat terkenal: “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami takkan tenteram sebelum berdiam di dalam-Mu.”
Apakah hati itu? Sebuah kekosongan batin yang begitu mendalam yang hanya dapat dipenuhi oleh Allah.
Di balik semua hasrat kita, ada kerinduan yang mendalam akan Allah.
Tuhan, tolonglah aku menyadari kerinduanku yang terdalam akan Engkau. Penuhilah aku dengan pengenalan akan Engkau. Bawalah aku mendekat kepada-Mu.
(Our Daily Bread, 24 November 2017)
Comments
Post a Comment